Minggu, 07 September 2014

Snow White

By: Ryu_San
Amelia Nur Santi                

          Takkah kau mengerti perasaan ini. Aku tak bias melepaskanmu begitu saja. Aku terlalu mencintaimu. Tak bisakah kau membacanya. Ini tergambar jelas di sorot mataku. Sebegitu kejamkah kau. Lalu bagaimana dengan cinta yang terlanjur kau hianati? Kau tinggal begiu saja? Kau memang tak memiliki perasaan…
Snow White
Bel terakhir yang baru saja berdering melepaskan penat siswa sekolah menengah yang beranjak remaja. Tak seharusnya mereka belajar ditengah salju yag terus menerus turun tanpa penghangat ruang di ruang kelas. Bagaimana tidak, setiap kali mereka disibukkan dengan baju hangat merea masing-masing.
“Heey, tunggu sebentar. Lihatlah nona di depan gerbang itu!” ucap Tooru menglihkan perhatian “Ku kira dia murid baru. Sebentar lagi kita akan satu sekolah dengan wanita secantik dia. Senangnya”
“Aku kira juga begitu. Jika dilihat dari wajah dan tubuhnya, dia masuk kelas 2” sambung Kureno
“Apa kau bilang. Kenapa dia harus satu kelas lebih tinggi dari kita?” Tosaka menghentikan.
“N’tahlah?” Kureno mendorong pudak kanan Tosaka
Tak sempat mereka bertiga berpapasa, gadis itu masuk ke mobil… . Tentunya rasa sesal menghampiri hati mereka, tak terkeculi Kureno. Walau nampaknya ia tak menghiraukannya, namun hatinya tetap memiliki rasa ingin tau yang besar mengenai cerita gadis manis itu.
***
“Aku pulang!” Kureno melepaskan sepatunya dan naik ke lantai atas. Di tengah tangga ia berheti menyadari tak ada yang menyapnya seperti biasanya. “Aku pulang!!” Teriaknya lebih keras, tetap tak ada jawaban. Ia meneruskan langkahnya menuju kamar orang tuanya. Tak seoang pun disana. Langkahnya tak terhenti, dengan segera ia membuka pintu ruangan di samping.
                “Aku Pulangg!!!” triaknya manakala melihat kakaknya Yamasuke berbaring dengan earphone dan komik di tanganya.
                Teriakan Kureno membuat Yamasuke tersentak. Dengan segera Yamasuke membuka earphonenya dan melemparkan komik yang tengah dibacanya.
                “Hey, kau mengagetiku. Kau mau kakak mu ini mati? Lain kali pelankan suaramu.” Ucapnya dengan wajah pucat
                “Kemana yang lainya?”
                “Kenapa kau tanya padaku? Tanya pada mereka. Mereka tak berpamitan denganku” Yamasuke mengais kembali komiknya           
                Kureno dengan cepat meningalkan kakaknya mencari memo atau semacamya yang mungkin ditinggalkan orang tuanya.
“Hey, Dasar adik tak tau diri. Setidaknya kau meminta maaf atau berterima kasih padaku” Teriak Yamasuke dari dalam kamar.
***
Malam semakin larut, perasaan hampa seperti ini dapat membunuh siapapun yang sedang mendamba cinta.  Dingin yang mencekat menusuk epidermis membekukan sel-selnya. Sebuah bunga yang turun dari langit itu begitu indah, namun tak seindah apa yang dirasakan Kureno dalam benaknya. Ia sangat benci musim dingin.
Tubuhnya terduduk di atas kursi di depan jendela terlihat lunglai. Matanya memedarkan sebuah kekosongan. Kedipanya mengalun bagai tempo sebuah sonata. Mulutnya ternganga untuk mempertahankan nafasnya. Semua orang pun dapat menebak apa yang sedang ia pikirkan, hanya sebuah kisah misterius yang ingin dia mengerti. Bukan cerita tentang rumah tua dekat sekolahnya ataupun cerita tentang segitiga Bermuda, sebuah kisah simple dari seorang gadis yang ia lihat tengah hari tadi, kisah tentang Putri Salju.
Wajah gadis itu begitu menawan ditempa salju, aura hangat tampak dari senyumanya, dan kenyamanan muncul dari sorot matanya. Belum pernah sekalipun Kureno melihat wanita seindah itu di kala dinginya suhu.
Lamunanya terpecah melihat gerbang depan rumah perlahan terbuka. Seorang wanita paru baya dengan payung kuning muncul dari baliknya. Seperti menemukan energy, Kureno bangkit dari duduknya dan beranjak menuruni tangga.
“Ibu, kau kembali” teriak Kureno bahagia “Dari mana?”
“Dasar anak mama, baru ditinggal sebentar saja seperti ini” Yamasuke memecah suasana.
“Hey, diam kau Setan”
“Apa kau bilang? Dasar tak tau diri”
“Sudah jangan bertengkar, Yamasuke apa kau tidak member tahu adikmu?”
Mata Kureno melihat Yamasuke dengan tatapan curiga. Ia merasa ada yang dirahasiakan darinya. Wajahnya berubah mengisaratkan sebuah pembunuhan.
“Apa?” ucap Yamasuke pada adiknya “Ibu tidak bilang apa-apa padaku” tatapan Kureno semakin tajam
“Tadi Ibu bilang ingin ke rumah tetangga. Ada yang menempati rumah itu. Jadi Ibu dan ayah membantu mereka. Walau bagaimana pun mereka akan menjadi tetanga kita. Apa kau tak mendengarnya?” Yamasuke menggaruk rambutnya sambil memalingkan pandangan dari adiknya “Sudahlah, sekarang bersiaplah. Meraka mengundang kita makan malam. Karena Ibu tak akan masak, kalian harus datang” sambung Ibu
Wajah Kureno seketika berubah. Ia tak begitu tertarik untuk keluar dari rumahnya dengan alasan turun salju. Ia sama sekali tak tertarik memenuhi payungnya dengan butiran salju. Namun harus buat apa lagi, perutya yang terlanjur kosong menuntutnya mendatangi jamuan makan itu.
Setelah menutup pintu depan Kurano membuka payungnya. Hawa dingin langsung menyeruak masuk ke pernfasannya. Beberapa kali asap hangat keluar dari mulutnya. Satu langkah, dua lagkah ia mulai menjauhi rumah. Itu sama sekali bukan hal yang menyenangkan bagi Kureno.
“Hey, Anak Mama percepat jalanmu, jangan seperti anak gadis yang sedang belajar berjalan. Aku sudah sangat lapar. Tidakkah kau memahaminya?”
Kureno tak menghiraukan ucapan Yamasuke. Ia memilih untuk sibuk melangkah, berusaha agar salju tak masuk kedalam sepatunya. Bebarapa kali terlihat Kurano menahan nafasnya agar tak menghalangi jalannya.
Tepat sampai di depan pintu gerbang Kureno menghentikan laju kakinya dan wajahnya mulai terangkat. Ia merasa suhu di sekitarnya mulai naik. Sebuah kehangatan muncul dari dalam rumah itu. “Apa yang terjadi?” batin Kureno. Karena memendam sebuah pertanyaan besar, ia mulai bergegas masuk dalam rumah itu.
Semakin ia mendekai rumah itu kehangatan semakin terasa. Kehangatan itu tak berasal dari api ataupun penghangat ruangan. Dan kini Kureno mengnjakan kaki di teras rumah itu.
“Letakan payungmu disitu saja” Suara lembut seorang Gadis tiba-tiba saja terdegar
Kureno mengangkat wajahnya. Ia tercengang melihat wajah cantik gadis itu. Nafasnya tercekat mulutnya terbuka. Ia sama sekali tak percaya dengan yang ia lihat. Inilah Putri Salju yang ia maksud. Wajahnya begitu hangat.
“Oh, Aku Kureno, Fujiwara Kureno.” Gadis itu tersenyum melihat kegaguan Kureno
“Pasti kau adiknya Fujiwara Yamasuke kan? Aku Hakamura Ayumi”
Kurano tetap tak beranjak dari tempatnya. Tubuhnya membeku walau ia merasa hangat. Jantungnya berdebar cepat, nafasnya mulai tersengal. Pandaganya semakin sayu karana jarang berkedip. Wajahnya tampak konyol dan otaka berangsu-angsur kosong
“Hay jangan menatapku seperti itu. Pasti kau kedinginan, ayo masuk” Ayumi menarik tangan Kurano dan mengandengnya masuk.
“Ada apa dengannya? Apa dia baru tertimbun salju?” Ucap Yamasuke dengan wajah hawatir
Ayumi mengangkat bahunya dan mempersilahkan Kurano duduk di salah satu kursi dekat Yamasuke di depan meja makan. Kureno tetap tak berucap. Matanya tetap tak berpaling dari Langkah ayumi. Kini pipinya mulai memerah. Dinginnya udara luar sama sekali tak menembus prisai hatinya.
“Hentikan sorot matamu. Dia tau kau mengaguminya. Semua orang bias membaca sorot matamu.” Bisik Yamasuke pada Kurano. Kurano mulai tersadar dari pengaruh hipnotis kecantika gadis itu “Tapi gadis itu milikku” Sambung Yamasuke
“Dia milikku” teriak Kurano tanpa sadar semua mata tertuju padanya. Ia melihat Ayumi yang tersenyum manis padanya “Dasar bodoh, pelankan suaramu” Yamasuke kembali bebrbisik
Tuan rumah mulai mengeluarkan satu per satu makananya. Mereka menikmati jamuan makan malam itu sambil terus mengobrol. Membicarakan asal dan hidup sebelumnya. Bercerita tentang pekerjaan dan pengalaman. Hingga akhirnya sampai pada saat yang paling mengejutkan.
“Bagaimana jika ayumi bersekolah di sekolah Kurano?” pertanyaan ayah Kurano membuat ayumi dan kedua orang tuanya tertawa
“Ayumi ini sudah 20 tahun. Memang ia mugil seperti sebaya dengan Kurano. Tapi kenyataanya ia lebih tua 4 tahun dari Kureno” jawab Ibu Ayumi dengan santai
Sontak Kurano tersedak mendengarnya. Ia tak bias bernafas karena makanan hamper masuk kekerongkogannya. “Apa? 4 tahun?”. Dengan segera Yamasuke memberikan air pada Kurano sambil menepuk-nempuk punggungnya. Semua mata kembali tertuju padanya. Dan tak lama jamuan itu diakhiri
***
“Aku penasaran kenapa aku tidak melihat gadis yang kemarin itu di sekolah. Padahal aku ingin bereknalan dengannya”Ucap Tooru pada dua temanya
“Apa yang kau bicarakan dia tak akan masuk sekolah ini” Kurano menyambungi
“Apa kau bilang? Sayang sekali. Padahal aku ingin sekali memilikinya. Oh iya dari mana kau bias tau” Tosaka menimpali
“Dia tinggal di dekat rumahku. Kemarin baru pindah. Dan perlu kalian tau dia milikku” Kurano beranjak meninggalkan mereka
Pelajaran yang membosankan da melelahkan kembali mengikat jiwa-jiwa muda. Tulisan-tulisan yang tergambar di buku sama sekali tak berarti di mata Kurano. Kini bayang-bayang Ayumi menhantui pikiranya. Walau pun sekarang ia tau siapa sebenarnya Putri Salju itu, ia tetap tak berhenti memnculan pertanyaan-pertanyaan baru di benaknya.
Jam pelsajaran kembali berakhir saat salju mulai turun. Seperti biasanya Kurano, Tooru, Dan Tosaka berjalan keluar bersama, berbincang tentang apa yang diidolakan remaja Jepang umumnya. Namun terpecah suara seorang gadis menangil nama Kurano.
“Bu… bukanya itu gadis kemarin. Dia memanggil Kurano? A…ada apa ini?” Ucap Tooru gagu
Mata Kurano berbinar bahagia. Ia pun sama seperti kedua temannya. Tak percaya dengan yang mereka lihat. “Aku sudah bilang dia milikku” Kurano berlari menghampiri gadis itu
“Kurano kau sungguh licik, sampaikan padanya aku mengagguminya” Teriak Tooru
“Tak akan” Jawab Kurano bahagia
Jantung kurano berdetak capat. Ia kembali membuat sebuah pertayaan di benakknya “Mengapa Ayumi meemuiku?” Ayumi tersenyum kecil mlihat sorot mata Kurano. Matanya menyipit dan bibirnya tertarik.
“Jangan bertanya. Aku tau yang ingin kau tanyakan. Matamu yng memberi tahu. Aku kemari karna ingin melihat sekoahmu sambil ingin mengajakmu berjalan-jalan. Apa kau mau?”
“A..” Kurano belum sempat menjawab
“Baiklah, mar kita pergi”
Ayumi kembali mengandeng tangan Kurano seperti malam itu. Kurano tak berdaya didekat Ayumi. Semuanya seperti baik-baik saja. Bebannya terasa pergi tertarik medan magnet yang mereka ciptakan sendiri. Perasaan hangat tak henti-hentinya di pancarkan Ayumi dan membuat Kurano nyamna di dekatnya.
Sampailah mereka di bawah pohon sakura yang daunya telah berguguran. Ayumi berhenti dan memandang tangkai-tangkai sakura yang mulai megering.matanya berseri seperti ingin menangis.
“Apa kau suka sakura?” Kurano mengawali perbincangan
“Ehe” Kata itu menghentikan niat Kurano yang ingin kembali bertanya. “Kurano?”
“Um?” Kurano melihat wajah Ayumi yang mlai menghadapnya.
“Mari kita pacaran. Aku tau tak seharusnya aku meminta seorang pria memacari wanita yang bahkan 4 tahun lebih tua darinya. Tapi aku tau kau mencintaiku, dan aku juga tertarik padamu. Jadi, bersamalah denganku” Ayumi tersenyum manis
Kurano tak menjawab apa-apa. Jantungnya semakin cepat berdetak dan nafasnya hamper tak terhembus lagi. Perlahan sebuah aliran kecil terjadi di mata Kurano. Tanpa ingat dengan usia lagi ia meraih ayumi dalam pelukkannya. Ia ingin membawa ayumi kedalam fantasi dewasanya. Begitu hangat dan semakin hangat. Tanpa cangung Ayumi membalas pelukan Kurano.
“Kurano?”
Kurano melepaskan pelukannya. Ia menanti kata apa yang akan muncul dari bibir tipis Ayumi. Namun hingga lama tak keluar sebuah kata yang ia nantikan. Kurano meundukkan kepalanya. Melihat tangan Ayumi bergerak cepat memegang kepalanya dan… Sebuah kecupan hangat mendarat di bibir Kurano.
Saat Ayumi melepaskannya ia berlari meninggalkan Kurano “Kurano aku mencintaimu. Aku akan menikah dengan pria lain jika kau tak mengejarku”. Dengan segera Kurano menegejar arah Ayumi.
***
Salju telah berhenti turun dan burung-burung mulai keluar dari sarangnya, beterbangan dan tertengger di dahan tanpa tumpukan salju. Orang-orang mulai keluar rumah tanpa disibukkan dengan mantel yang tebal, memulai aktivitas seperti biasa.
“Ayumi?” Ayumi memandang wajah Kurano “Aku akan menikahimu setelah kuselesaikan pendidikanku.” Sambung Kurano
“Kau akan menikahiku 6 tahun lagi?” Tanya Ayumi
“Bagaimana menurutmu? Apa kau mau menungguku?”
“Sampai kapan pun aku mau menungguku. Tapi maukah pria berusia 22 tahun menikahi wanita berusia 26 tahun?” Tanya Ayumi cemas
“Aku tak peduli sebeapa tua kau, aku akan tetap mencintaimu. Aku berjanji mencintaimu sampai aku tua”
***
Mereka kembali membuat sebuah kehangatan. Berliku-liku cinta mereka jalani selama 3 tahun. Kini musim dingin adalah musim yang paling dinanti Kurano.  Hingga akhirnya datang saatnya Kurano lulus dari sekolahnya. Dan siang itu Ayumi mendatangi Kurano yang tengah berbincang bengan kawannya.
“Mari kita bicara” Kurano memenuhi ajakan Ayumi. Mereka berjalan meninggalkan pusat keramaian.
“Ada apa?” Kurano memulai
“Aku akan menikah” Ucap Ayumi ragu
“Bukankah masih 4 tahun lagi?”
“Bukan denganmu. Aku akan menikahi kakakmu, Yamasuke”
Kurano tertawa sinis. Ia tak percaya dengan apa yang Ayumi katakan. Namun ia memilih diam menuggu kalimat selanjutnya
“Kami menikah dua hari lagi. Keluarga kami sudah membicarakan ini sejak lama” Ayumi menyambung
“Dan tanpa aku?”
Ayumi mengangguk dan berlalu. Sama seperti sebelumnya Kurano kembali menangis. Kini hatinya tengah benar-benar hancur. Harapannya selama ini hilang dalam beberapa kata dari Ayumi. Jatuh duduk di bawah sakura yang mulai menguncup. Bibir bawanya terlihat mengluarkan darah karena gigitan. Matanya begitu sembab, hidungnya berbinar merah. “Mengapa kau meninggalkanku dengan cara seperti ini? Telah hilangkah kemampuanmu membaca mataku. Sampai saat ini aku masih tetap mencintaimu. Aku masih begitu mencintaimu. Bukankah itu tampak jelas di mataku?”
***
Semua itu kini telah berlalu, enam bulan setelah mimpi buruk itu menimpa Kurano. Ia tetap tak bias melupakan sakit hatinya. Dua hari lagi ia berangkat ke Amerika untuk meneruskan pendidikannya.
Malam semakin larut, perasaan hampa seperti ini dapat membunuh siapapun yang sedang mendamba cinta.  Dingin yang mencekat menusuk epidermis membekukan sel-selnya. Sebuah bunga yang turun dari langit itu begitu indah, namun tak seindah apa yang dirasakan Kureno dalam benaknya. Ia kembali benci musim dingin.
Tubuhnya terduduk di atas kursi di depan jendela terlihat lunglai. Matanya memedarkan sebuah kekosongan. Kedipanya mengalun bagai tempo sebuah sonata. Mulutnya ternganga untuk mempertahankan nafasnya. Semua orang pun dapat menebak apa yang sedang ia pikirkan, hanya sebuah kisah misterius yang ingin dia mengerti. Bukan cerita tentang rumah tua dekat sekolahnya ataupun cerita tentang segitiga Bermuda, sebuah kisah simple dari seorang gadis yang ia lihat beberapa tahun lalu, kisah tentang Putri Salju yang telah lama meninggalkannya.
Lamunanya terpecah melihat gerbang depan rumah perlahan terbuka. Seorang wanita paru baya dengan payung kuning muncul dari baliknya. Seperti menemukan energy, Kureno bangkit dari duduknya dan beranjak menuruni tangga.
”Mengapa ibu menangis?” Kureno terkejut dengan air mata ibunya
“Ayumi ia, pergi untuk selamanya”
***
Suasana duka masih menyelimuti keluarga Ayumi tak terkecuali Kurano. Namun Hari ini ia harus pergi ke Amerika. Sebelum pergi ia menyempatkan pergi ke makam Ayumi membawa bibit skura untuk ditanam di dekatnya. Kurano mengerti mengapa Ayumi meninggalkannya. Seadainya ia tahu penyakit yang lama mengeroggoti hidup Ayumi.
“Aku tetap merasakan kehangatanmu, Putri. Semua kisahmu kini telah berakhir. Dan kini kisahku baru dimulai” Senyum hangat Kurano mulai terpancarkan
Sejak saat Kurao pergi ia tak pernah kembali ke Tokyo lagi. Ia menyelesaikan studi, bekerja, dan menikah di Amerika.
***
“Kurano kau melihat pohon sakura di dekat makam itu terus?” Tanya istriku
“N’tahlah istriku. Aku merasa nyaman didekat pohon sakura ini. Pohon ini seperti mengeluarkan kehangtan walau baru saja turun salju. Aku tak merasa kedinginan. Takkah kau merasakannya” Jawabku
“Aku tak merasakan apa-apa” Ia menggelengkan kepalanya “Ai..ai..a…”  Istriku mencoba mengeja tulisan di nisan itu
“Kau bukan orang Jepang jadi tak bias membacanya” aku sedikit meledek
“Kau memang orang Jepang, tapi kau tak kembali selama 53 tahun. Masih pantaskah kau di sebut orang Jepang? Tulisan ini apa bacanya?”
“Ayumi Hakamura. Sepertinya aku pernah bertemu dengan orang ini. Tapi aku tak ingat?”
“Sudahlah, umurmu sudah 72, kau sudah terlalu tua untuk mengingatnya”
Namun aku tetap merasa siapapun yang di kubur disini telah benar-benar menyakiti hati seorang itu. Kisahnya begitu menyedihkan. Aku harap seseorang itu selalu mengertinya walau bagaimanapun.