By: Ryu_San
Amelia Nur Santi
Takkah
kau mengerti perasaan ini. Aku tak bias melepaskanmu begitu saja. Aku terlalu
mencintaimu. Tak bisakah kau membacanya. Ini tergambar jelas di sorot mataku.
Sebegitu kejamkah kau. Lalu bagaimana dengan cinta yang terlanjur kau hianati?
Kau tinggal begiu saja? Kau memang tak memiliki perasaan…
Snow White
Bel terakhir
yang baru saja berdering melepaskan penat siswa sekolah menengah yang beranjak
remaja. Tak seharusnya mereka belajar ditengah salju yag terus menerus turun
tanpa penghangat ruang di ruang kelas. Bagaimana tidak, setiap kali mereka
disibukkan dengan baju hangat merea masing-masing.
“Heey, tunggu
sebentar. Lihatlah nona di depan gerbang itu!” ucap Tooru menglihkan perhatian
“Ku kira dia murid baru. Sebentar lagi kita akan satu sekolah dengan wanita
secantik dia. Senangnya”
“Aku kira juga
begitu. Jika dilihat dari wajah dan tubuhnya, dia masuk kelas 2” sambung Kureno
“Apa kau bilang.
Kenapa dia harus satu kelas lebih tinggi dari kita?” Tosaka menghentikan.
“N’tahlah?”
Kureno mendorong pudak kanan Tosaka
Tak sempat
mereka bertiga berpapasa, gadis itu masuk ke mobil… . Tentunya rasa sesal
menghampiri hati mereka, tak terkeculi Kureno. Walau nampaknya ia tak
menghiraukannya, namun hatinya tetap memiliki rasa ingin tau yang besar mengenai
cerita gadis manis itu.
***
“Aku pulang!”
Kureno melepaskan sepatunya dan naik ke lantai atas. Di tengah tangga ia
berheti menyadari tak ada yang menyapnya seperti biasanya. “Aku pulang!!”
Teriaknya lebih keras, tetap tak ada jawaban. Ia meneruskan langkahnya menuju
kamar orang tuanya. Tak seoang pun disana. Langkahnya tak terhenti, dengan
segera ia membuka pintu ruangan di samping.
“Aku
Pulangg!!!” triaknya manakala melihat kakaknya Yamasuke berbaring dengan
earphone dan komik di tanganya.
Teriakan
Kureno membuat Yamasuke tersentak. Dengan segera Yamasuke membuka earphonenya
dan melemparkan komik yang tengah dibacanya.
“Hey,
kau mengagetiku. Kau mau kakak mu ini mati? Lain kali pelankan suaramu.”
Ucapnya dengan wajah pucat
“Kemana
yang lainya?”
“Kenapa
kau tanya padaku? Tanya pada mereka. Mereka tak berpamitan denganku” Yamasuke mengais
kembali komiknya
Kureno
dengan cepat meningalkan kakaknya mencari memo atau semacamya yang mungkin
ditinggalkan orang tuanya.
“Hey, Dasar adik
tak tau diri. Setidaknya kau meminta maaf atau berterima kasih padaku” Teriak Yamasuke
dari dalam kamar.
***
Malam semakin
larut, perasaan hampa seperti ini dapat membunuh siapapun yang sedang mendamba
cinta. Dingin yang mencekat menusuk
epidermis membekukan sel-selnya. Sebuah bunga yang turun dari langit itu begitu
indah, namun tak seindah apa yang dirasakan Kureno dalam benaknya. Ia sangat
benci musim dingin.
Tubuhnya
terduduk di atas kursi di depan jendela terlihat lunglai. Matanya memedarkan
sebuah kekosongan. Kedipanya mengalun bagai tempo sebuah sonata. Mulutnya
ternganga untuk mempertahankan nafasnya. Semua orang pun dapat menebak apa yang
sedang ia pikirkan, hanya sebuah kisah misterius yang ingin dia mengerti. Bukan
cerita tentang rumah tua dekat sekolahnya ataupun cerita tentang segitiga
Bermuda, sebuah kisah simple dari seorang gadis yang ia lihat tengah hari tadi,
kisah tentang Putri Salju.
Wajah gadis itu
begitu menawan ditempa salju, aura hangat tampak dari senyumanya, dan
kenyamanan muncul dari sorot matanya. Belum pernah sekalipun Kureno melihat
wanita seindah itu di kala dinginya suhu.
Lamunanya
terpecah melihat gerbang depan rumah perlahan terbuka. Seorang wanita paru baya
dengan payung kuning muncul dari baliknya. Seperti menemukan energy, Kureno
bangkit dari duduknya dan beranjak menuruni tangga.
“Ibu, kau kembali”
teriak Kureno bahagia “Dari mana?”
“Dasar anak
mama, baru ditinggal sebentar saja seperti ini” Yamasuke memecah suasana.
“Hey, diam kau
Setan”
“Apa kau bilang?
Dasar tak tau diri”
“Sudah jangan
bertengkar, Yamasuke apa kau tidak member tahu adikmu?”
Mata Kureno
melihat Yamasuke dengan tatapan curiga. Ia merasa ada yang dirahasiakan
darinya. Wajahnya berubah mengisaratkan sebuah pembunuhan.
“Apa?” ucap Yamasuke
pada adiknya “Ibu tidak bilang apa-apa padaku” tatapan Kureno semakin tajam
“Tadi Ibu bilang
ingin ke rumah tetangga. Ada yang menempati rumah itu. Jadi Ibu dan ayah
membantu mereka. Walau bagaimana pun mereka akan menjadi tetanga kita. Apa kau
tak mendengarnya?” Yamasuke menggaruk rambutnya sambil memalingkan pandangan
dari adiknya “Sudahlah, sekarang bersiaplah. Meraka mengundang kita makan
malam. Karena Ibu tak akan masak, kalian harus datang” sambung Ibu
Wajah Kureno
seketika berubah. Ia tak begitu tertarik untuk keluar dari rumahnya dengan alasan
turun salju. Ia sama sekali tak tertarik memenuhi payungnya dengan butiran
salju. Namun harus buat apa lagi, perutya yang terlanjur kosong menuntutnya
mendatangi jamuan makan itu.
Setelah menutup
pintu depan Kurano membuka payungnya. Hawa dingin langsung menyeruak masuk ke
pernfasannya. Beberapa kali asap hangat keluar dari mulutnya. Satu langkah, dua
lagkah ia mulai menjauhi rumah. Itu sama sekali bukan hal yang menyenangkan
bagi Kureno.
“Hey, Anak Mama
percepat jalanmu, jangan seperti anak gadis yang sedang belajar berjalan. Aku
sudah sangat lapar. Tidakkah kau memahaminya?”
Kureno tak
menghiraukan ucapan Yamasuke. Ia memilih untuk sibuk melangkah, berusaha agar
salju tak masuk kedalam sepatunya. Bebarapa kali terlihat Kurano menahan
nafasnya agar tak menghalangi jalannya.
Tepat sampai di
depan pintu gerbang Kureno menghentikan laju kakinya dan wajahnya mulai
terangkat. Ia merasa suhu di sekitarnya mulai naik. Sebuah kehangatan muncul
dari dalam rumah itu. “Apa yang terjadi?” batin Kureno. Karena memendam sebuah
pertanyaan besar, ia mulai bergegas masuk dalam rumah itu.
Semakin ia
mendekai rumah itu kehangatan semakin terasa. Kehangatan itu tak berasal dari
api ataupun penghangat ruangan. Dan kini Kureno mengnjakan kaki di teras rumah
itu.
“Letakan
payungmu disitu saja” Suara lembut seorang Gadis tiba-tiba saja terdegar
Kureno
mengangkat wajahnya. Ia tercengang melihat wajah cantik gadis itu. Nafasnya
tercekat mulutnya terbuka. Ia sama sekali tak percaya dengan yang ia lihat.
Inilah Putri Salju yang ia maksud. Wajahnya begitu hangat.
“Oh, Aku Kureno,
Fujiwara Kureno.” Gadis itu tersenyum melihat kegaguan Kureno
“Pasti kau
adiknya Fujiwara Yamasuke kan? Aku Hakamura Ayumi”
Kurano tetap tak
beranjak dari tempatnya. Tubuhnya membeku walau ia merasa hangat. Jantungnya
berdebar cepat, nafasnya mulai tersengal. Pandaganya semakin sayu karana jarang
berkedip. Wajahnya tampak konyol dan otaka berangsu-angsur kosong
“Hay jangan
menatapku seperti itu. Pasti kau kedinginan, ayo masuk” Ayumi menarik tangan
Kurano dan mengandengnya masuk.
“Ada apa
dengannya? Apa dia baru tertimbun salju?” Ucap Yamasuke dengan wajah hawatir
Ayumi mengangkat
bahunya dan mempersilahkan Kurano duduk di salah satu kursi dekat Yamasuke di depan
meja makan. Kureno tetap tak berucap. Matanya tetap tak berpaling dari Langkah
ayumi. Kini pipinya mulai memerah. Dinginnya udara luar sama sekali tak
menembus prisai hatinya.
“Hentikan sorot
matamu. Dia tau kau mengaguminya. Semua orang bias membaca sorot matamu.” Bisik
Yamasuke pada Kurano. Kurano mulai tersadar dari pengaruh hipnotis kecantika
gadis itu “Tapi gadis itu milikku” Sambung Yamasuke
“Dia milikku”
teriak Kurano tanpa sadar semua mata tertuju padanya. Ia melihat Ayumi yang
tersenyum manis padanya “Dasar bodoh, pelankan suaramu” Yamasuke kembali
bebrbisik
Tuan rumah mulai
mengeluarkan satu per satu makananya. Mereka menikmati jamuan makan malam itu
sambil terus mengobrol. Membicarakan asal dan hidup sebelumnya. Bercerita
tentang pekerjaan dan pengalaman. Hingga akhirnya sampai pada saat yang paling
mengejutkan.
“Bagaimana jika
ayumi bersekolah di sekolah Kurano?” pertanyaan ayah Kurano membuat ayumi dan
kedua orang tuanya tertawa
“Ayumi ini sudah
20 tahun. Memang ia mugil seperti sebaya dengan Kurano. Tapi kenyataanya ia
lebih tua 4 tahun dari Kureno” jawab Ibu Ayumi dengan santai
Sontak Kurano
tersedak mendengarnya. Ia tak bias bernafas karena makanan hamper masuk
kekerongkogannya. “Apa? 4 tahun?”. Dengan segera Yamasuke memberikan air pada
Kurano sambil menepuk-nempuk punggungnya. Semua mata kembali tertuju padanya.
Dan tak lama jamuan itu diakhiri
***
“Aku
penasaran kenapa aku tidak melihat gadis yang kemarin itu di sekolah. Padahal
aku ingin bereknalan dengannya”Ucap Tooru pada dua temanya
“Apa
yang kau bicarakan dia tak akan masuk sekolah ini” Kurano menyambungi
“Apa
kau bilang? Sayang sekali. Padahal aku ingin sekali memilikinya. Oh iya dari
mana kau bias tau” Tosaka menimpali
“Dia
tinggal di dekat rumahku. Kemarin baru pindah. Dan perlu kalian tau dia
milikku” Kurano beranjak meninggalkan mereka
Pelajaran
yang membosankan da melelahkan kembali mengikat jiwa-jiwa muda. Tulisan-tulisan
yang tergambar di buku sama sekali tak berarti di mata Kurano. Kini
bayang-bayang Ayumi menhantui pikiranya. Walau pun sekarang ia tau siapa
sebenarnya Putri Salju itu, ia tetap tak berhenti memnculan
pertanyaan-pertanyaan baru di benaknya.
Jam
pelsajaran kembali berakhir saat salju mulai turun. Seperti biasanya Kurano,
Tooru, Dan Tosaka berjalan keluar bersama, berbincang tentang apa yang
diidolakan remaja Jepang umumnya. Namun terpecah suara seorang gadis menangil
nama Kurano.
“Bu…
bukanya itu gadis kemarin. Dia memanggil Kurano? A…ada apa ini?” Ucap Tooru
gagu
Mata
Kurano berbinar bahagia. Ia pun sama seperti kedua temannya. Tak percaya dengan
yang mereka lihat. “Aku sudah bilang dia milikku” Kurano berlari menghampiri
gadis itu
“Kurano
kau sungguh licik, sampaikan padanya aku mengagguminya” Teriak Tooru
“Tak
akan” Jawab Kurano bahagia
Jantung
kurano berdetak capat. Ia kembali membuat sebuah pertayaan di benakknya
“Mengapa Ayumi meemuiku?” Ayumi tersenyum kecil mlihat sorot mata Kurano.
Matanya menyipit dan bibirnya tertarik.
“Jangan
bertanya. Aku tau yang ingin kau tanyakan. Matamu yng memberi tahu. Aku kemari
karna ingin melihat sekoahmu sambil ingin mengajakmu berjalan-jalan. Apa kau
mau?”
“A..”
Kurano belum sempat menjawab
“Baiklah,
mar kita pergi”
Ayumi
kembali mengandeng tangan Kurano seperti malam itu. Kurano tak berdaya didekat
Ayumi. Semuanya seperti baik-baik saja. Bebannya terasa pergi tertarik medan
magnet yang mereka ciptakan sendiri. Perasaan hangat tak henti-hentinya di
pancarkan Ayumi dan membuat Kurano nyamna di dekatnya.
Sampailah
mereka di bawah pohon sakura yang daunya telah berguguran. Ayumi berhenti dan
memandang tangkai-tangkai sakura yang mulai megering.matanya berseri seperti
ingin menangis.
“Apa
kau suka sakura?” Kurano mengawali perbincangan
“Ehe”
Kata itu menghentikan niat Kurano yang ingin kembali bertanya. “Kurano?”
“Um?”
Kurano melihat wajah Ayumi yang mlai menghadapnya.
“Mari
kita pacaran. Aku tau tak seharusnya aku meminta seorang pria memacari wanita
yang bahkan 4 tahun lebih tua darinya. Tapi aku tau kau mencintaiku, dan aku
juga tertarik padamu. Jadi, bersamalah denganku” Ayumi tersenyum manis
Kurano
tak menjawab apa-apa. Jantungnya semakin cepat berdetak dan nafasnya hamper tak
terhembus lagi. Perlahan sebuah aliran kecil terjadi di mata Kurano. Tanpa
ingat dengan usia lagi ia meraih ayumi dalam pelukkannya. Ia ingin membawa
ayumi kedalam fantasi dewasanya. Begitu hangat dan semakin hangat. Tanpa
cangung Ayumi membalas pelukan Kurano.
“Kurano?”
Kurano
melepaskan pelukannya. Ia menanti kata apa yang akan muncul dari bibir tipis
Ayumi. Namun hingga lama tak keluar sebuah kata yang ia nantikan. Kurano
meundukkan kepalanya. Melihat tangan Ayumi bergerak cepat memegang kepalanya
dan… Sebuah kecupan hangat mendarat di bibir Kurano.
Saat
Ayumi melepaskannya ia berlari meninggalkan Kurano “Kurano aku mencintaimu. Aku
akan menikah dengan pria lain jika kau tak mengejarku”. Dengan segera Kurano
menegejar arah Ayumi.
***
Salju telah
berhenti turun dan burung-burung mulai keluar dari sarangnya, beterbangan dan
tertengger di dahan tanpa tumpukan salju. Orang-orang mulai keluar rumah tanpa
disibukkan dengan mantel yang tebal, memulai aktivitas seperti biasa.
“Ayumi?” Ayumi
memandang wajah Kurano “Aku akan menikahimu setelah kuselesaikan pendidikanku.”
Sambung Kurano
“Kau akan
menikahiku 6 tahun lagi?” Tanya Ayumi
“Bagaimana
menurutmu? Apa kau mau menungguku?”
“Sampai kapan
pun aku mau menungguku. Tapi maukah pria berusia 22 tahun menikahi wanita
berusia 26 tahun?” Tanya Ayumi cemas
“Aku tak peduli
sebeapa tua kau, aku akan tetap mencintaimu. Aku berjanji mencintaimu sampai
aku tua”
***
Mereka kembali
membuat sebuah kehangatan. Berliku-liku cinta mereka jalani selama 3 tahun.
Kini musim dingin adalah musim yang paling dinanti Kurano. Hingga akhirnya datang saatnya Kurano lulus
dari sekolahnya. Dan siang itu Ayumi mendatangi Kurano yang tengah berbincang
bengan kawannya.
“Mari kita
bicara” Kurano memenuhi ajakan Ayumi. Mereka berjalan meninggalkan pusat
keramaian.
“Ada apa?”
Kurano memulai
“Aku akan
menikah” Ucap Ayumi ragu
“Bukankah masih
4 tahun lagi?”
“Bukan denganmu.
Aku akan menikahi kakakmu, Yamasuke”
Kurano tertawa
sinis. Ia tak percaya dengan apa yang Ayumi katakan. Namun ia memilih diam
menuggu kalimat selanjutnya
“Kami menikah
dua hari lagi. Keluarga kami sudah membicarakan ini sejak lama” Ayumi
menyambung
“Dan tanpa aku?”
Ayumi mengangguk
dan berlalu. Sama seperti sebelumnya Kurano kembali menangis. Kini hatinya
tengah benar-benar hancur. Harapannya selama ini hilang dalam beberapa kata
dari Ayumi. Jatuh duduk di bawah sakura yang mulai menguncup. Bibir bawanya
terlihat mengluarkan darah karena gigitan. Matanya begitu sembab, hidungnya
berbinar merah. “Mengapa kau meninggalkanku dengan cara seperti ini? Telah
hilangkah kemampuanmu membaca mataku. Sampai saat ini aku masih tetap
mencintaimu. Aku masih begitu mencintaimu. Bukankah itu tampak jelas di
mataku?”
***
Semua itu kini
telah berlalu, enam bulan setelah mimpi buruk itu menimpa Kurano. Ia tetap tak
bias melupakan sakit hatinya. Dua hari lagi ia berangkat ke Amerika untuk
meneruskan pendidikannya.
Malam semakin
larut, perasaan hampa seperti ini dapat membunuh siapapun yang sedang mendamba
cinta. Dingin yang mencekat menusuk
epidermis membekukan sel-selnya. Sebuah bunga yang turun dari langit itu begitu
indah, namun tak seindah apa yang dirasakan Kureno dalam benaknya. Ia kembali
benci musim dingin.
Tubuhnya
terduduk di atas kursi di depan jendela terlihat lunglai. Matanya memedarkan
sebuah kekosongan. Kedipanya mengalun bagai tempo sebuah sonata. Mulutnya
ternganga untuk mempertahankan nafasnya. Semua orang pun dapat menebak apa yang
sedang ia pikirkan, hanya sebuah kisah misterius yang ingin dia mengerti. Bukan
cerita tentang rumah tua dekat sekolahnya ataupun cerita tentang segitiga
Bermuda, sebuah kisah simple dari seorang gadis yang ia lihat beberapa tahun
lalu, kisah tentang Putri Salju yang telah lama meninggalkannya.
Lamunanya
terpecah melihat gerbang depan rumah perlahan terbuka. Seorang wanita paru baya
dengan payung kuning muncul dari baliknya. Seperti menemukan energy, Kureno
bangkit dari duduknya dan beranjak menuruni tangga.
”Mengapa ibu
menangis?” Kureno terkejut dengan air mata ibunya
“Ayumi ia, pergi
untuk selamanya”
***
Suasana duka
masih menyelimuti keluarga Ayumi tak terkecuali Kurano. Namun Hari ini ia harus
pergi ke Amerika. Sebelum pergi ia menyempatkan pergi ke makam Ayumi membawa
bibit skura untuk ditanam di dekatnya. Kurano mengerti mengapa Ayumi
meninggalkannya. Seadainya ia tahu penyakit yang lama mengeroggoti hidup Ayumi.
“Aku tetap
merasakan kehangatanmu, Putri. Semua kisahmu kini telah berakhir. Dan kini
kisahku baru dimulai” Senyum hangat Kurano mulai terpancarkan
Sejak saat Kurao
pergi ia tak pernah kembali ke Tokyo lagi. Ia menyelesaikan studi, bekerja, dan
menikah di Amerika.
***
“Kurano kau
melihat pohon sakura di dekat makam itu terus?” Tanya istriku
“N’tahlah
istriku. Aku merasa nyaman didekat pohon sakura ini. Pohon ini seperti
mengeluarkan kehangtan walau baru saja turun salju. Aku tak merasa kedinginan.
Takkah kau merasakannya” Jawabku
“Aku tak
merasakan apa-apa” Ia menggelengkan kepalanya “Ai..ai..a…” Istriku mencoba mengeja tulisan di nisan itu
“Kau bukan orang
Jepang jadi tak bias membacanya” aku sedikit meledek
“Kau memang
orang Jepang, tapi kau tak kembali selama 53 tahun. Masih pantaskah kau di
sebut orang Jepang? Tulisan ini apa bacanya?”
“Ayumi Hakamura.
Sepertinya aku pernah bertemu dengan orang ini. Tapi aku tak ingat?”
“Sudahlah,
umurmu sudah 72, kau sudah terlalu tua untuk mengingatnya”
Namun aku tetap
merasa siapapun yang di kubur disini telah benar-benar menyakiti hati seorang
itu. Kisahnya begitu menyedihkan. Aku harap seseorang itu selalu mengertinya
walau bagaimanapun.